Langsung ke konten utama

[IDVolunteering] Ketika Mimikri Menjadi Jalan



 Remember that the happiest people are not those getting more, but those giving more.”
H. Jackson Brown Jr.

Ketika kau memberi, maka kau akan merasakan rinai-rinai bahagia di dinding hatimu. Kebahagiaan itu jauh abadi dibanding ketika kita hanya menerima. Maka tak usahlah kau bersegan diri untuk memberi, membagikan apa yang tertinggal pada tilas di neuro atau sesuatu yang kau genggam. Dan suatu pagi ketika bangun, kau akan merasakan bahwa dirimu mampu untuk menyemaikan kemanfaatan.

Relawan tak dapat terlepas dari peran memberi dan membagi. Lalu, apa yang membuatmu terpaut untuk menjadi relawan? Karena kau peduli. Peduli akan segala hal yang mendatangkan kebahagiaan, kemanfaatan, perubahan, dsb.
Berbicara tentang relawan, membuat seluruh episode ketika berada di lapangan kembali menayangkan diri. Salah satunya adalah ketika harus bermimikri. Tunggu dulu, mimikriku ini tak seperti Si Swallowtail yang meniru gaya ular hijau ketika burung pemangsa melintas. Namun, aku bermimikri menjadi tukang bangunan. Ya, tukang bangunan yang berteman karib dengan pasir, semen, genting, batu bata, kerikil, dsb. 
Kala itu bumi Yogyakarta dan Klaten bergoyang. Tanah-tanah retak, korban manusia dan hewan bertaburan, pun rangka-rangka bangunan tak kuat menopang. Mendadak, Yogya dan Klaten ricuh dengan kewaspadaan akan gempa-gempa susulan. Yup, tahun 2006, ketika aku masih berstatus mahasiswa tingkat dua, bencana itu melanda.

Aku berangkat ke Klaten untuk turut dalam kegiatan Kemah Bakti Pramuka Peduli  yang digelar secara dadakan. Selama dua minggu, bersama utusan dari Perguruan Tinggi lain dan perwakilan penegak pandega dari Kwartir Cabang di Jawa Tengah menjadi tim/ peserta kemah bakti di kloter kedua. Tim dibagi ke beberapa wilayah untuk melakukan bakti fisik, berupa pembangunan sekolah, puskesmas, rumah, dan mushola.
Suasana gotong royong

Jadilah aku tukang bangunan dadakan. Meskipun peluh tak berhenti mengalir, kulit meninggalkan sawo matang, badan beraroma matahari, tidur beratap seribu bintang dan bertikar anyaman rumput, membuatku menyesap kesukacitaan. Kebahagiaan menjalar meskipun hanya tenaga yang dapat kusalurkan untuk meringankan duka dan menumbuhkan asa di ranah bencana. Ya, golongan mahasiswa sepertiku, zaman dulu tak memiliki lebih materi untuk sekadar menikmati hari. Maka, ketika yang lain berduyun-duyun membeli aneka barang berdus-dus, aku hanya bisa memberikan tenaga untuk menjadi relawan.
Aku memang dilahirkan sebagai perempuan, tapi itu tak pernah menghalangiku untuk melakukan banyak hal. Waktu itu, Tim yang menaungiku, mendapatkan tugas membangun sebuah sekolah dasar di daerah Cawas. Sebelumnya kloter pertama telah menyelesaikan pembuatan dinding di beberapa kelas.

Ini pengalaman pertamaku. Mengayak pasir, mengaduk semen, menghaluskan adonan semen ke dinding, mengambil bongkahan-bongkahan tanah, dsb. Sayangnya aku tak sanggup untuk menata genting menjadi atap. Walhasil, hanya dapat menggotong genting agar mendekati kawan-kawan putra supaya mudah dipasang.
Sebelum istirahat setelah mengayak pasir

Sepanjang hari kami di sekolah, dari pukul 08.00-16.00. Ketika sore datang dan semua tim kembali ke Lapangan Cawas dengan tenda pleton yang gagah, kami beraktivitas kembali. Relawan Putra bermain bola dengan anak-anak penduduk, sedangkan relawan putri kadang berbincang dengan warga maupun anak-anak. Ketika malam datang, sering kami menonton film berlayar tancap dengan warga maupun melakukan trauma healing. Selebihnya beristirahat, karena tenaga prima harus melekat pada organ seluruh tim.

Tak hanya membangun sekolah, aku juga mendapatkan jadwal untuk menggawangi dapur umum. Satu hari penuh berhenti menjadi tukang bangunan, lalu bermimikri menjadi koki bersama beberapa kawan yang lain. Menyediakan sarapan, makan siang, dan makan malam untuk seluruh tim yang jumlahnya ratusan.
Sisi lain di dapur umum

Sebelumnya, ketika kegiatan bakti ini belum dimulai, aku telah berada di Klaten selama dua minggu. Bersama teman-teman SAR Universitas Diponegoro, mendahului mendirikan posko sebelum relawan dari seluruh fakultas datang. SAR UNDIP merupakan gabungan dari anggota Racana, Resimen Mahasiswa, Pecinta Alam, KSR, dsb.

H+1 gempa, kami berangkat. Kami transit terlebih dahulu di Kantor Kabupaten Klaten yang berdinding retak. Membantu mengangkat bantuan dari truk-truk besar ke dalam pendopo Kabupaten. Begitu energik waktu itu, karung beras 25 kg, tenda pleton besar dengan tiang-tiang menjulang berhasil kuangkat, meskipun dengan menggeh-menggeh (napas tersengal-sengal).

Ketika malam datang, kami bergeser ke pendopo sebuah desa di samping pabrik SGM. Mendirikan posko Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Semarang. Lalu, bermimikrilah aku menjadi koordinator gudang. Bertanggung jawab terhadap keluar masuknya barang bantuan. Termasuk ikut mendistribusikan bantuan ke daerah Wedi dengan perasaan was-was karena isu penjarahan. Sampai-sampai teman-teman dari Menwa memakai seragam dan berada di bak truk untuk berjaga-jaga.

Beberapa minggu setelah kemah bakti berakhir, aku kembali ke Klaten. Masih dalam suasana menjadi relawan gempa dengan peran yang berbeda. Aku menjadi panitia Perkemahan Wirakarya Kwarda Jateng. Perkemahan dengan kegiatan full bakti, entah fisik maupun nonfisik. Termasuk melanjutkan membangun bangunan, betonisasi, papanisasi, dan melakukan trauma healing.

Ah begitu banyak orang yang masih peduli bukan? Bersyukur mendapatkan kesempatan untuk berbagi. Dan sampai saat ini aku telah berjumpa banyak orang dengan tujuan sama, yaitu menjadi relawan.

“Jika kita memilih tidak peduli, lebih sibuk dengan urusan masing-masing, nasib negeri ini persis seperti sekeranjang telur di ujung tanduk, hanya soal waktu akan pecah berantakan.”
Tere Liye, Negeri Di Ujung Tanduk

Komentar

  1. jadi relawan itu ya harus rela alias ikhlas dan wani alias berani. Meka adalah seorang teman yang punya syarat itu. Hidupnya bergulir dengan Ikhlas sampai membawanya ke Ibu Kota tanpa gentar alias wani, berani. Kisah Meka yang bermimikri menguatkan kisah misteri seorang relawan yang selalu bergerak dengan hati. Hati yang hanya dimengerti jika sudah tau rasanya jadi relawan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi relawan itu panggilan tanpa paksaan. Terima kasih Kak Dina

      Hapus
  2. Luar biasa, Meka. Daripada ngomel dan mengeluh, memang jauh lebih baik bekerja dalam diam. Bekerja yang nyata untuk negeri. Ditunggu cerita pengalaman-pengalaman lainnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. Semoga semakin bangak orang yg peduli dg sekitar

      Hapus
  3. Aku memang dilahirkan sebagai perempuan, tapi itu tak pernah menghalangiku untuk melakukan banyak hal.
    Poinnya di sini!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meskipun perempuan, tak menghalangiku utk menjadi relawan hehehehe

      Hapus
  4. Sudah satu tahun lebih kenal Mbak Meka, dan nggak pernah tahu tentang kisah yang satu ini. Terima kasih sudah berbagi pengalaman dengan tulisan ini, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga bermanfaat dan dapat menebarkan virus peduli hehehehehe

      Hapus
  5. Nice story, kerennn....!
    Menginspirasi bngt dahh.

    BalasHapus
  6. Taunya Meka sebagai tim penggembira, temen cerita dan ketawa.
    Ternyata punya kisah yang luar biasa.
    Makasih, ceritanya menginspirasi dan menampar diriku yang tak pernah berani terjun ke lapangan seperti itu :'(

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Implora Day to Day Series, Tampil Manis dengan Make Up Minimalis

  Bisa make up dengan tenang tanpa direcokin anak pasti jadi dambaan perempuan dewasa. Ya, sebagaimana fitrahnya perempuan, yaitu bersolek. Merias diri agar tampak apik dipandang mata, menjadi hal naluriah. Sementara itu, sebagian ibu dengan anak balita, merias diri bisa menjadi aktivitas yang sangat menantang. Apalagi yang belum kenal dengan Implora Day to Day Series. Untungnya Implora series ini baru ada di akhir 2023, yang mana anakku sudah mulai memasuki masa kanak-kanak. Coba masih bayi, aku harus menyembunyikan dengan berbagai cara. Biar tim ungu series yang manis ini tak lekas rusak, sebelum habis dipakai. Paham kan ibu ibu di pelosok tanah air? 😁 Pas banget, ketika Implora day to day Series ini launching , aktivitasku semakin padat. Sejak Desember, aku mulai sering diminta menjadi narasumber, pemateri, atau pengisi acara. Di samping itu, kerap kali ada acara orang tua di sekolah. Aku butuh banget make up yang bisa dipakai sat set, plus dapat dibawa kemana-mana dengan mudah. Ak

Mau Kuku Tampil Cantik? Implora Nail Polish Bikin Makin Percaya Diri

  Ngomongin soal nail polish atau cat kuku, atau kutek, tidak seperti ngomongin lipstik. Perempuan yang memilih tidak memakai nail polish, lebih banyak daripada yang memilih tidak memakai lipstik. Tetapi, memakai nail polish sebenarnya hal yang lumrah. Ya, karena bagian dari fitrah perempuan, yang demen banget bersolek. Bahkan menggunakan nail polish, bisa bikin makin percaya diri. Apalagi kalau pakai Implora Nail Polish. Kapan aku mengenal nail polish, tentu sejak kecil 😁. Namun ketika berada di bangku kuliah, aku selalu memakai nail polish berwana hitam. Gemes sama warna ini. Ini berlangsung sampai aku bekerja. Tentu pakainya ketika si tamu bulanan datang 😁. Sejak hamil dan melahirkan, aku berhenti memakai nail polish. Hingga anak perempuanku, keranjingan memakai nail polish sejak usia 3 tahun. Kemudian di usianya yang ke-6, aku mulai berpikir, untuk mencoba memakai nail polish lagi. Karena, ia akan senang, dan merasa semakin dekat, jika aku masuk ke dunianya. Daaan kutemukan si Im

Bikin Betah! Series Barbie Ini Ajak Anak Berpetualang di Kala Liburan

  Ada yang seru di libur lebaran tahun ini. Barbie The Movies kembali tayang di televisi. Beuh ini mah gak cuma anak yang happy, emaknya juga hihihihihi.  Para emak alias ibu bisa sekalian bernostalgia. Betapa riangnya kala kecil hingga remaja, menonton petualangan Barbie di televisi, ketika libur sekolah tiba.  Terpesona gitu lho sama para Barbie. Udah cantik, elegan, berkarakter, pejuang keras, smart, pokoknya sosok yang oke deh. Walaupun tetap saja ada sifat negatif pada karakter utama, seperti ceroboh, dll. Ya, mirip manusia kan, punya kelebihan dan kekurangan. Banyak banget, kisah Barbie, yang telah lalu. Misal Barbie in the Nutcracker, Barbie as the Princess and the Pauper, Barbie of Swan Lake, Barbie: Fairytopia, Barbie in the 12 Dancing Princesses, Barbie and the Three Musketeers, Barbie: Mariposa, Barbie as Rapunzel, Barbie and The Magic of Pegasus, dan cerita Barbie lainnya. Kalau aku sih, sampai kuliah masih suka nonton series Barbie 😁. Soalnya penuh petualangan dan kejuta